Desa itu dikepalai Sango, yang terkenal baik dan jujur. Sango sangat dihormati dan disayangi oleh seluruh penduduk desa Onggi. Namun pada hari itu Sango kelihtaan termenung seorang diri. Ada satu hal yang sampai detik itu menjadi beban pikirannya, Hal itu adalah adanya upacara pengorbanan. Yaitu membunuh seorang penduduk laki-laki, pada setiap habis masa panen. Upacara pengorbanan itu dimaksudkan sebagai persembahan kepada Dewa-Dewi Kesuburan. Agar panen-panen berikutnya akan tetap berlimpah.
Sango berpikir bahwa pengorbanan seperti ini sudah tidak sesuai lagi dengan kemanusiaan. Selain itu jumlah penduduk desa pun akan semakin berkurang. Sango juga sedih memikirkan nasib anak dan istri dari penduduk yang dikorbankan.
Namun penduduk desa selalu siap menjadi korban persembahan kepada Dewa-Dewi mereka. Mereka beranggapan bahwa korban akan selalu diterima dan dimasukkan ke dalam surga.
Pada suatu hari Sango mengumpulkan seluruh penduduk desa di balai desa.
"Wahai, Saudara-Saudara warga desa Onggi yang saya hormati. Hari ini saya sengaja mengumpulkan Saudara-Saudara karena ada sesuatu yang hendak saya sampaikan."
Seluruh penduduk kelihatan diam. Wajah mereka penuh dengan tanda tanya.
"Sebelumnya saya menginginkan pengertian dari Saudara-Saudara semua. Aku harap mulai panen-panen berikutnya nanti, tidak ada lagi upacara pengorbanan. Tidakkah Saudara-Saudara pikir bahwa penduduk desa ini lama-kelamaan bisa habis? Lagi pula siapa yang akan mengurus anak dan istri mereka yang dikorbankan?"
Seketika para hadirin menjadi ramai. Bahkan terdengar teriakan-teriakan, "Tidak bisa! Tidak bisa! Dewa-Dewi Kesuburan akan marah kepada kita!"
"Sabar, sabar! Saya tahu perasaan kalian!" seru Sango, "Namun dua malam yang lalu saya bertemu dengan Dewi Kesuburan di dalam mimpi. Beliau berpesan kepadaku bahwa akan ada makhluk berjubah hitam yang akan menjadi korban persembahan yang terakhir! Nah, karena itu saya minta kepada petugas upacara, pada panen yang akan datang ini kalian harus siap menunggu kedatangan makhluk berjubah hitam tersebut!"
Setelah mendengar keterangan tersebut, seluruh penduduk kelihatan diam dan mengerti. Mereka mengangguk-anggukkan kepala.
"Sekarang Saudara-Saudara sekalian boleh pulang. Dan para petugas upacara supaya mengasah senjata kalian lebih tajam lagi!"
Setelah masing-masing bersalaman dengan Sango, penduduk Desa Onggi pun bubar. Balai desa kelihatan sepi. Hanya Sango yang masih tetap duduk di tempatnya.
Hari-hari selanjutnya kehidupan penduduk Desa Onggi berjalan seperti biasa. Mereka bekerja lebih giat dengan harapan panen-panen yang akan datang akan lebih berhasil dari pada panen-panen terdahulu.
Demikianlah sampai saat panen tiba, penduduk kelihatan bersuka cita, karena hasil jerih payah mereka tidaklah sia-sia. Panen kelihatan berlimpah. Mulai dari petang hari kaum wanita telah sibuk menyiapkan makanan untuk hidangan pesta panen yang akan segera diselenggarakan.
Pada keesokan harinya, para petugas upacara sudah siap di pintu gerbang desa. Pedang dan golok telah mereka asah tajam. Mereka menunggu dengan waspada, bila tiba-tiba makhluk berjubah hitam itu tiba-tiba muncul. Sebagian besar penduduk desa pun turut menunggu kedatangan makhluk tersebut.
Setelah matahari bersinar, dari kejauhan mereka melihat ada sesosok tubuh yang mengenakan jubah hitam. Wajahnya pun mengenakan topeng hitam!
"Lihat! Itulah makhluk yang kita tunggu-tunggu!" teriak mereka serentak.
Dengan awas mereka mengikuti langkah-langkah makhluk tersebut. Pedang dan golok telah mereka siapkan. Dan begitu makhluk itu mendekat, serentak mereka maju dan mengayunkan senjata masing-masing. Dalam sekejap makhluk berjubah hitam itu roboh tak bernyawa lagi.
Tetapi betapa terkejut mereka ketika mereka membuka topeng makhluk itu. Ternyata Si Jubah Hitam itu adalah Sango, kepala desa mereka sendiri!
Betapa sedih penduduk Desa Onggi mengetahui hal itu. Mereka merasa sangat kehilangan. Ya, desa itu telah kehilangan seorang pemuda pemimpin yang pandai, jujur, dan baik hati. Sango telah rela mengorbankan dirinya demi kebenaran dan kemanusiaan!
Sejak itu penduduk Desa Onggi tidak pernah lagi mengadakan upacara pengorbanan. Mereka telah sadar dan pengorbanan Sango tetap mereka kenang sampai kini.
TAMAT
Hari-hari selanjutnya kehidupan penduduk Desa Onggi berjalan seperti biasa. Mereka bekerja lebih giat dengan harapan panen-panen yang akan datang akan lebih berhasil dari pada panen-panen terdahulu.
Demikianlah sampai saat panen tiba, penduduk kelihatan bersuka cita, karena hasil jerih payah mereka tidaklah sia-sia. Panen kelihatan berlimpah. Mulai dari petang hari kaum wanita telah sibuk menyiapkan makanan untuk hidangan pesta panen yang akan segera diselenggarakan.
Pada keesokan harinya, para petugas upacara sudah siap di pintu gerbang desa. Pedang dan golok telah mereka asah tajam. Mereka menunggu dengan waspada, bila tiba-tiba makhluk berjubah hitam itu tiba-tiba muncul. Sebagian besar penduduk desa pun turut menunggu kedatangan makhluk tersebut.
Setelah matahari bersinar, dari kejauhan mereka melihat ada sesosok tubuh yang mengenakan jubah hitam. Wajahnya pun mengenakan topeng hitam!
"Lihat! Itulah makhluk yang kita tunggu-tunggu!" teriak mereka serentak.
Dengan awas mereka mengikuti langkah-langkah makhluk tersebut. Pedang dan golok telah mereka siapkan. Dan begitu makhluk itu mendekat, serentak mereka maju dan mengayunkan senjata masing-masing. Dalam sekejap makhluk berjubah hitam itu roboh tak bernyawa lagi.
Tetapi betapa terkejut mereka ketika mereka membuka topeng makhluk itu. Ternyata Si Jubah Hitam itu adalah Sango, kepala desa mereka sendiri!
Betapa sedih penduduk Desa Onggi mengetahui hal itu. Mereka merasa sangat kehilangan. Ya, desa itu telah kehilangan seorang pemuda pemimpin yang pandai, jujur, dan baik hati. Sango telah rela mengorbankan dirinya demi kebenaran dan kemanusiaan!
Sejak itu penduduk Desa Onggi tidak pernah lagi mengadakan upacara pengorbanan. Mereka telah sadar dan pengorbanan Sango tetap mereka kenang sampai kini.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar