Hani duduk di atas bangku meja belajarnya. Tangannya membuka sebuah buku.
"Butir ke-empat sila ketiga, bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia. Bangga sebagai..."
Hani menghentikan hafalannya ketika mendengar suara gedoran di pintu.
"Kenapa, Mbak?" tanya Hani pada Ira, kakaknya, setelah ia membuka pintu.
"Tanya lagi! Jangan teriak-teriak!" ujar Ira sedikit marah.
"Nggak teriak-teriak, Hani lagi menghafal butir-butir Pancasila. Lima hari lagi murid-murid disuruh menghafal di depan kelas," jawab Hani membela diri.
"Iya, tapi kan bisa pelan-pelan. Di dalam hati saja," kata Ira sambil duduk di atas tempat tidur.
"Tidak bisa, Mbak. Hani tidak bisa menghafal dengan suara pelan."
"Makanya dibiasakan! Mumpung baru kelas lima SD. Kalau tidak dibiasakan, kan repot. Bukan hanya orang rumah yang terganggu, tetangga juga. Kan malu," nasihat Ira.
Hani hanya diam. Dalam hati ia membenarkan kata-katanya.
"Ya sudah, lanjutkan saja hafalanmu. Tapi jangan sekeras tadi, ya?" kata Ira, kemudian keluar dari kamar.
Hani termangu di tempat tidurnya. Sesaat kemudian Ia beranjak ke meja belajarnya.
"Butir ke-empat sila ketiga. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia. Bangga sebagai bangsa..." Hani menghafal dengan suara pelan dan memejamkan mata.
"Aduh! Tuh, kan, aku nggak bisa menghafal kalau pelan-pelan," gerutunya kemudian. Setelah berulang-ulang mencoba menghafal tanpa suara, Hani akhirnya menyerah. Ia lalu ke luar dari kamar dan nonton TV bersama Mama, Papa, Ira, dan Bagas.
"Sedang apa tadi, Han?" tanya Mama sambil membelai rambut Hani.
"Menghafal butir-butir Pancasila."
"Sudah hafal?" tanya Papa.
Hani menggeleng.
"Hani nggak bisa menghafal dengan suara pelan. Tadi Hani menghafal keras-keras, tapi Mbak Ira marah. Katanya mengganggu."
Hani melirik kakaknya. Ira cuma tersenyum.
"Kamu mau tahu cara menghafal yang lain?" tanya Bagas tiba-tiba.
Hani mengangguk kuat-kuat.
"Hmm, rekam hafalanmu di kaset kosong. Lalu dengarkan kaset itu berulang-ulang sampai kamu hafal. Kalau bisa pakai walkman," usul Bagas.
"Ada lagi, Han. Mau tahu?" sambung Ira.
Pandangan Hani beralih pada Ira.
"Kamu pernah lihat karton-karton yang tertempel di dinding kamarku?"
"Ooo, rumus-rumus matematika dan fisika itu?" tanya Hani.
"Betul. Kalau ditempel seperti itu, pasti akan sering terlihat. Dan kalau sering terlihat, pasti lama-lama kita hafal," kata Ira.
Hani mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Besok dicoba, Han. Nanti Mas Bagas yang siapkan kaset rekamannya," kata Bagas.
"Iya. Besok biar Mbak Ira saja yang menuliskan butir-butir Pancasilanya," kata Ira.
Hani tersenyum kegirangan. Keesokan harinya, Hani dan kedua kakaknya terlihat sibuk.
"Nah, ini kasetnya. Tinggal didengar saja!" kata Bagas setelah selesai merekam suara Hani.
"Dicoba, Mas," bujuk Hani.
Tak lama kemudian, terdengarlah suara Hani dengan ketiga puluh enam butir Pancasila.
"Suara Hani bagus," puji Ira tanpa menghentikan pekerjaannya. Pipi Hani bersemu merah. Bagas tersenyum, kemudian menekan tombol stop.
"Siip, Mbak Ira juga sudah selesai, nih. Kita tempel di dinding kamarmu ya, Han?" kata Ira sambil memperlihatkan hasil pekerjaannya.
Hani mengangguk dan mengikuti langkah Ira.
"Tempel di sini, ya, Han! Jadi, waktu mau tidur, matamu tetap tertuju pada butir-butir ini," saran Ira.
"Iya, deh, Mbak."
Tak lama kemudian karton itu sudah tertempel di dinding kamar Hani.
Beberapa hari kemudian...
"Hani tadi sudah menghafal butir-butir Pancasila di depan kelas," cerita Hani saat makan malam.
"Bisa?" tanya Mama.
"Iya, dong! Kan sudah pakai cara Mas Bagas dan Mbak Ira."
"Jadi lebih mudah menghafal, ya, Han?" tanya Papa.
"Iya. Tenggorokanku jadi tidak sakit. Dan yang paling penting, tidak dicereweti Mbak Ira lagi," kata Hani sambil melirik Ira.
Semuanya tertawa. Hani sangat gembira punya kakak yang baik.
TAMAT
"Tanya lagi! Jangan teriak-teriak!" ujar Ira sedikit marah.
"Nggak teriak-teriak, Hani lagi menghafal butir-butir Pancasila. Lima hari lagi murid-murid disuruh menghafal di depan kelas," jawab Hani membela diri.
"Iya, tapi kan bisa pelan-pelan. Di dalam hati saja," kata Ira sambil duduk di atas tempat tidur.
"Tidak bisa, Mbak. Hani tidak bisa menghafal dengan suara pelan."
"Makanya dibiasakan! Mumpung baru kelas lima SD. Kalau tidak dibiasakan, kan repot. Bukan hanya orang rumah yang terganggu, tetangga juga. Kan malu," nasihat Ira.
Hani hanya diam. Dalam hati ia membenarkan kata-katanya.
"Ya sudah, lanjutkan saja hafalanmu. Tapi jangan sekeras tadi, ya?" kata Ira, kemudian keluar dari kamar.
Hani termangu di tempat tidurnya. Sesaat kemudian Ia beranjak ke meja belajarnya.
"Butir ke-empat sila ketiga. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia. Bangga sebagai bangsa..." Hani menghafal dengan suara pelan dan memejamkan mata.
"Aduh! Tuh, kan, aku nggak bisa menghafal kalau pelan-pelan," gerutunya kemudian. Setelah berulang-ulang mencoba menghafal tanpa suara, Hani akhirnya menyerah. Ia lalu ke luar dari kamar dan nonton TV bersama Mama, Papa, Ira, dan Bagas.
"Sedang apa tadi, Han?" tanya Mama sambil membelai rambut Hani.
"Menghafal butir-butir Pancasila."
"Sudah hafal?" tanya Papa.
Hani menggeleng.
"Hani nggak bisa menghafal dengan suara pelan. Tadi Hani menghafal keras-keras, tapi Mbak Ira marah. Katanya mengganggu."
Hani melirik kakaknya. Ira cuma tersenyum.
"Kamu mau tahu cara menghafal yang lain?" tanya Bagas tiba-tiba.
Hani mengangguk kuat-kuat.
"Hmm, rekam hafalanmu di kaset kosong. Lalu dengarkan kaset itu berulang-ulang sampai kamu hafal. Kalau bisa pakai walkman," usul Bagas.
"Ada lagi, Han. Mau tahu?" sambung Ira.
Pandangan Hani beralih pada Ira.
"Kamu pernah lihat karton-karton yang tertempel di dinding kamarku?"
"Ooo, rumus-rumus matematika dan fisika itu?" tanya Hani.
"Betul. Kalau ditempel seperti itu, pasti akan sering terlihat. Dan kalau sering terlihat, pasti lama-lama kita hafal," kata Ira.
Hani mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Besok dicoba, Han. Nanti Mas Bagas yang siapkan kaset rekamannya," kata Bagas.
"Iya. Besok biar Mbak Ira saja yang menuliskan butir-butir Pancasilanya," kata Ira.
Hani tersenyum kegirangan. Keesokan harinya, Hani dan kedua kakaknya terlihat sibuk.
"Nah, ini kasetnya. Tinggal didengar saja!" kata Bagas setelah selesai merekam suara Hani.
"Dicoba, Mas," bujuk Hani.
Tak lama kemudian, terdengarlah suara Hani dengan ketiga puluh enam butir Pancasila.
"Suara Hani bagus," puji Ira tanpa menghentikan pekerjaannya. Pipi Hani bersemu merah. Bagas tersenyum, kemudian menekan tombol stop.
"Siip, Mbak Ira juga sudah selesai, nih. Kita tempel di dinding kamarmu ya, Han?" kata Ira sambil memperlihatkan hasil pekerjaannya.
Hani mengangguk dan mengikuti langkah Ira.
"Tempel di sini, ya, Han! Jadi, waktu mau tidur, matamu tetap tertuju pada butir-butir ini," saran Ira.
"Iya, deh, Mbak."
Tak lama kemudian karton itu sudah tertempel di dinding kamar Hani.
Beberapa hari kemudian...
"Hani tadi sudah menghafal butir-butir Pancasila di depan kelas," cerita Hani saat makan malam.
"Bisa?" tanya Mama.
"Iya, dong! Kan sudah pakai cara Mas Bagas dan Mbak Ira."
"Jadi lebih mudah menghafal, ya, Han?" tanya Papa.
"Iya. Tenggorokanku jadi tidak sakit. Dan yang paling penting, tidak dicereweti Mbak Ira lagi," kata Hani sambil melirik Ira.
Semuanya tertawa. Hani sangat gembira punya kakak yang baik.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar