"Hati-hati, Bayu!" pekik Titin melompat. Namun ia tak sempat menyentuh tubuh Bayu. Karena anak itu keburu bangkit sambil menatap Titin dengan ketakutan. Lalu lari tunggang langgang ke kamarnya.
Langkah Titin terhenti. Ia heran melihat sikap Bayu yang aneh.
"Hoaaa..." tangis Bayu pecah sesampai di dalam kamarnya.
"Lo, kenapa, Nak?" itu suara ibu Bayu, tante Titin.
Titin menjawab dari tempat berdirinya.
"Jatuh, Bi. Belum sempat Titin bangunkan, sudah bangun duluan," ujar Titin, berhenti di depan pintu kamar.
"Ih, jagoan kok nangis?" ibu Bayu mengelus kepala anaknya. Mendengar kata "jagoan" tangis Bayu berhenti seketika.
"Sana main sama Mbak Titin," ibu Bayu mendorong bahu Bayu yang mungil. Teplak tepluk teplak... seketika Bayu berlari ke arah Titin. Titin menangkap pergelangan tangannya dan membimbingnya ke luar.
Di halaman, mereka balapan lari. Hayooo... hayooo... Keduanya berteriak sambil tertawa-tawa. Namun... gedubrag! Titin tersandung kerikil dan jatuh.
"Jagoan, jagoan!" sorak Bayu sambil melompat-lompat.
Lama Titin tak bangun-bangun. Matanya mulai basah. Ia menangis tanpa suara. Ah, kalau di rumahnya sendiri ia pasti sudah meraung-raung.
"Yee... Mbak Titin nangis. Cengeng, ah!" Bayu menatap Titin lekat-lekat.
"Diam, dong! Cakit, ya?" lanjut Bayu agak cadel. Usianya memang baru tiga tahun. Titin jadi malu sendiri. Sakit, sih, tidak. Hanya kaget. Sembari mengusap matanya, Titin tersenyum. Lalu meneruskan balapan larinya bersama Bayu. Hayooo... hayooo... hayooo...
Malam harinya, ibu Bayu berkata pada Titin, "Kalau melihat Bayu jatuh, bilang saja 'jagoan' sambil tertawa, Tin."
"Kalau kita bingung, dia malah takut dan menangis," sambungnya.
Mendengar ini Titin jadi termangu. Titin memang belum begitu mengenal Bayu, sepupu kecilnya. Baru tiga hari yang lalu ia tiba di Jakarta untuk berlibur. Ayah yang mengantarnya. Selesai libur nanti, Ayah yang akan menjemputnya lagi untuk pulang ke Lampung.
Suatu hari Minggu, ibu Bayu pergi arisan.
"Selesai arisan, Bibi mau ke kantor pos. Jadi pulangnya agak lama," ujar ibu Bayu.
Di mulut pintu depan, Bayu duduk di atas sadel sepedanya. Tatapannya lurus ke muka. Menantikan ibunya pulang. Karena lama menunggu, akhirnya Bayu mengantuk dan... glodag! Tubuhnya oleng dan kepalanya membentur daun pintu. Titin hampir terpekik dan melompat. Namun ia teringat nasihat Bibi.
"Jagoaaan!" pekik Titin cepat. Tak terduga, Bayu menoleh sambil tertawa.
"Sakit?" Titin mendekat.
"Nggak," jawab Bayu di sela tawanya. Titin jadi salut. Bayu memang tidak cengeng seperti dirinya.
"Bayu mengantuk, ya?"
"He eh," jawab Bayu.
"Tidur, yuk," bujuk Titin. Bayu mengikutinya sambil tersenyum manis.
Tanpa terasa liburan Titin habis. Ayah menjemputnya ke Jakarta. Di dalam bis di perjalanan pulang menuju Lampung, Ayah bertanya, "Apa saja yang kamu pelajari selama di Jakarta?"
"Titin belajar dari Bayu, Yah!" ujar Titin.
"Oho?" Ayah mengangkat alisnya tinggi. "Apa itu?"
Agak tersipu Titin berkata, "Dik Bayu tidak cengeng, Yah."
"Oho?" bibir Ayah membundar. Lalu dielusnya kepala Titin dengan lembut, "Liburan Titin tidak sia-sia, ya!"
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar