Suatu hari, seorang pria masuk ke desa Paman Deng Ba. Pakaiannya sangat mahal dan ia mengendarai kuda yang sangat bagus. Semua orang desa keluar melihatnya. Mereka kagum akan kebagusan kudanya. Namun, tetangga Paman Deng Ba berkata, "Malangnya aku! Kuda itu telah kubesarkan, tapi kini menjadi miliknya!"
Mendengar kata-kata itu Paman Deng Ba bertanya, "Kuda itu milikmu?"
"Ya, dulu itu milikku. Tapi Maru, orang kaya penunggang kuda itu, mengambil kudaku. Aku orang miskin. Milikku hanya kuda itu. Ia kupelihara dengan penuh kasih sayang. Tapi Maru rupanya menginginkan kudaku. Ia menipuku. Katanya kambing yang kugembalakan telah memakan rumput kebunnya. Jadi aku harus menggantinya dengan kudaku."
Paman Deng Ba iba mendengar cerita tetangganya. Tiba-tiba ia melihat Maru hendak masuk ke biara. Tiba-tiba ia melihat Maru hendak masuk ke biara. Kebetulan saat itu Paman Deng Ba sedang berada di depan pintu biara. Ia lekas-lekas membuka pakaiannya sambil menggerutu, "Aneh sekali! Aku harus menuruti peraturan biara yang macam-macam!"
Maru mendengar gerutuan Paman Deng Ba. Ia pun bertanya, "Ada apa denganmu?"
"Apakah Tuan hendak sembahyang di biara ini?" tanya Paman Deng Ba.
"Iya. Aku bermaksud sembahyang di tiap biara yang ada di semua tempat yang kukunjungi, agar diberi kekayaan oleh Budha," jawab Maru.
"Kalau begitu Tuan harus mentaati peraturan biara ini yang amat aneh. Tuan harus berdoa tanpa memakai pakaian. Kuda dan semua harta benda Tuan harus ditinggal di luar."
Maru mulanya curiga kepada Paman Deng Ba. Namun melihat keseriusan di wajah Paman Deng Ba, Maru pun percaya. Baju dan semua harta bendanya ditaruh di atas kuda yang ditambatkan di luar pintu biara. Maru lalu masuk ke biara dan menemui pendeta dari biara itu.
Ketika Paman Deng Ba melihat seorang pendeta menyambut Maru, cepat-cepat Paman Deng Ba memakai pakaiannya. Ia lalu membawa pergi semua barang milik Maru beserta kudanya.
Bagaimanakah dengan Maru? Pendeta menyangka ia orang gila. Ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam biara, sebab tidak memakai pakaian. Akhirnya Maru berlari mencari kudanya.
"Hei mana kuda dan pakaianku?" teriak Maru.
Maru tidak berani mencari Paman Deng Ba, sebab ia tidak berpakaian. Cuaca sudah mulai gelap, tanda malam telah tiba. Maru terpaksa bermalam di depan biara, di atas tumpukan jerami.
Keesokan harinya Maru berusaha mencari Paman Deng Ba. Namun ia tidak perlu mencari jauh-jauh. Paman Deng Ba tampak sedang membersihkan batu-batu yang bertebaran di jalan kecil samping biara.
"Hei, kau penipu!" seru Maru marah.
"Sssttt, jangan ribut," seru Paman Deng Ba, "Aku tidak menipmu. Lihat, aku sedang membersihkan batu-batu di jalan kecil ini. Aku dihukum pendeta biara, karena tidak khusuk bersembahyang."
"Hei, biar aku yang membersihkan batu-batu itu. Kau pergilah mengambil kuda dan bajuku," ujar Maru.
Paman Deng Ba lalu meninggalkan Maru. Ia berjanji akan kembali membawa kuda dan baju Maru. Sementara itu, terjadi keributan di biara. Rupanya semalam ada pencuri masuk dan mengambil permata yang ada di biara.
Menurut pendeta, pencuri permata itu pasti akan membersihkan batu-batu di jalan kecil untuk menghilangkan jejaknya. Tiba-tiba pendeta melihat Maru. Ia sedang membersihkan batu-batu di jalan kecil. Tanpa bertanya lagi, pendeta memukulnya dengan rotan.
"Kau pencuri!" teriak Pendeta.
Dengan mengaduh-aduh Maru berusaha menceritakan asal-usul dirinya. Pendeta kemudian menghentikan pukulannya. Namun pendeta lainnya mengenali wajah Maru. Pendeta itu lalu berbisik kepada temannya, "Saudaraku, dia adalah orang gila yang kemarin siang hendak masuk ke biara kita."
Mendengar penjelasan temannya, pendeta yang membawa rotan cepat-cepat meninggalkan Maru. Maru geram dan langsung mencari Paman Deng Ba. Namun itu tidak perlu. Sebab Paman Deng Ba berada di depan tiang bendera biara itu.
"Kau, kau... pembohong!" teriak Maru, "Mana pakaian dan kudaku?"
Tanpa menoleh ke arah Maru, Paman Deng Ba menjawab, "Tenanglah! Aku akan membawa kuda dan bajumu setelah hukumanku selesai. Aku harus menjaga jangan bendera di tiang ini jatuh. Jika bendera ini tampak bergerak, maka aku harus memanggil pendeta-pendeta di biara untuk menggantinya."
"Kau tidak menipuku lagi, bukan?" tanya Maru.
"Tidak!" jawab Paman Deng Ba, "Aku tidak seperti engkau yang menipu gembala kambing."
Maru kembali percaya pada kata-kata Paman Deng Ba. Ia lalu berkata, "Deng Ba, biarlah aku yang menjaga tiang bendera itu. Aku pasti menjaganya dengan baik."
"Kau mau menjaganya?" kata Paman Deng Ba, "Aku sangsi kau dapat melakukannya dengan baik."
"Percayalah kepadaku!" kata Maru.
Akhirnya Paman Deng Ba meninggalkan Maru yang mengawasi tiang bendera di kebun biara. Dan ketika angin kencang bertiup, tampak tiang bendera berderak-derak dan benderanya seperti hendak jatuh. Dengan suara keras Maru berteriak, "Pendeta! Pendeta! Bendera biara mau jatuh!"
Semua pendeta keluar. Mereka melihat ke tiang bendera. Bendera tidak jatuh, hanya bergerak-gerak akibat ditiup angin kencang. Para Pendeta marah kepada Maru. Mereka menganggap Maru keterlaluan karena mempermainkan pendeta. Maka Maru dikurung di belakang biara.
Paman Deng Ba melihat si sombong Maru dipenjara. Ia lalu memberikan kuda milik Maru kepada tetangganya.
TAMAT
"Ya, dulu itu milikku. Tapi Maru, orang kaya penunggang kuda itu, mengambil kudaku. Aku orang miskin. Milikku hanya kuda itu. Ia kupelihara dengan penuh kasih sayang. Tapi Maru rupanya menginginkan kudaku. Ia menipuku. Katanya kambing yang kugembalakan telah memakan rumput kebunnya. Jadi aku harus menggantinya dengan kudaku."
Paman Deng Ba iba mendengar cerita tetangganya. Tiba-tiba ia melihat Maru hendak masuk ke biara. Tiba-tiba ia melihat Maru hendak masuk ke biara. Kebetulan saat itu Paman Deng Ba sedang berada di depan pintu biara. Ia lekas-lekas membuka pakaiannya sambil menggerutu, "Aneh sekali! Aku harus menuruti peraturan biara yang macam-macam!"
Maru mendengar gerutuan Paman Deng Ba. Ia pun bertanya, "Ada apa denganmu?"
"Apakah Tuan hendak sembahyang di biara ini?" tanya Paman Deng Ba.
"Iya. Aku bermaksud sembahyang di tiap biara yang ada di semua tempat yang kukunjungi, agar diberi kekayaan oleh Budha," jawab Maru.
"Kalau begitu Tuan harus mentaati peraturan biara ini yang amat aneh. Tuan harus berdoa tanpa memakai pakaian. Kuda dan semua harta benda Tuan harus ditinggal di luar."
Maru mulanya curiga kepada Paman Deng Ba. Namun melihat keseriusan di wajah Paman Deng Ba, Maru pun percaya. Baju dan semua harta bendanya ditaruh di atas kuda yang ditambatkan di luar pintu biara. Maru lalu masuk ke biara dan menemui pendeta dari biara itu.
Ketika Paman Deng Ba melihat seorang pendeta menyambut Maru, cepat-cepat Paman Deng Ba memakai pakaiannya. Ia lalu membawa pergi semua barang milik Maru beserta kudanya.
Bagaimanakah dengan Maru? Pendeta menyangka ia orang gila. Ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam biara, sebab tidak memakai pakaian. Akhirnya Maru berlari mencari kudanya.
"Hei mana kuda dan pakaianku?" teriak Maru.
Maru tidak berani mencari Paman Deng Ba, sebab ia tidak berpakaian. Cuaca sudah mulai gelap, tanda malam telah tiba. Maru terpaksa bermalam di depan biara, di atas tumpukan jerami.
Keesokan harinya Maru berusaha mencari Paman Deng Ba. Namun ia tidak perlu mencari jauh-jauh. Paman Deng Ba tampak sedang membersihkan batu-batu yang bertebaran di jalan kecil samping biara.
"Hei, kau penipu!" seru Maru marah.
"Sssttt, jangan ribut," seru Paman Deng Ba, "Aku tidak menipmu. Lihat, aku sedang membersihkan batu-batu di jalan kecil ini. Aku dihukum pendeta biara, karena tidak khusuk bersembahyang."
"Hei, biar aku yang membersihkan batu-batu itu. Kau pergilah mengambil kuda dan bajuku," ujar Maru.
Paman Deng Ba lalu meninggalkan Maru. Ia berjanji akan kembali membawa kuda dan baju Maru. Sementara itu, terjadi keributan di biara. Rupanya semalam ada pencuri masuk dan mengambil permata yang ada di biara.
Menurut pendeta, pencuri permata itu pasti akan membersihkan batu-batu di jalan kecil untuk menghilangkan jejaknya. Tiba-tiba pendeta melihat Maru. Ia sedang membersihkan batu-batu di jalan kecil. Tanpa bertanya lagi, pendeta memukulnya dengan rotan.
"Kau pencuri!" teriak Pendeta.
Dengan mengaduh-aduh Maru berusaha menceritakan asal-usul dirinya. Pendeta kemudian menghentikan pukulannya. Namun pendeta lainnya mengenali wajah Maru. Pendeta itu lalu berbisik kepada temannya, "Saudaraku, dia adalah orang gila yang kemarin siang hendak masuk ke biara kita."
Mendengar penjelasan temannya, pendeta yang membawa rotan cepat-cepat meninggalkan Maru. Maru geram dan langsung mencari Paman Deng Ba. Namun itu tidak perlu. Sebab Paman Deng Ba berada di depan tiang bendera biara itu.
"Kau, kau... pembohong!" teriak Maru, "Mana pakaian dan kudaku?"
Tanpa menoleh ke arah Maru, Paman Deng Ba menjawab, "Tenanglah! Aku akan membawa kuda dan bajumu setelah hukumanku selesai. Aku harus menjaga jangan bendera di tiang ini jatuh. Jika bendera ini tampak bergerak, maka aku harus memanggil pendeta-pendeta di biara untuk menggantinya."
"Kau tidak menipuku lagi, bukan?" tanya Maru.
"Tidak!" jawab Paman Deng Ba, "Aku tidak seperti engkau yang menipu gembala kambing."
Maru kembali percaya pada kata-kata Paman Deng Ba. Ia lalu berkata, "Deng Ba, biarlah aku yang menjaga tiang bendera itu. Aku pasti menjaganya dengan baik."
"Kau mau menjaganya?" kata Paman Deng Ba, "Aku sangsi kau dapat melakukannya dengan baik."
"Percayalah kepadaku!" kata Maru.
Akhirnya Paman Deng Ba meninggalkan Maru yang mengawasi tiang bendera di kebun biara. Dan ketika angin kencang bertiup, tampak tiang bendera berderak-derak dan benderanya seperti hendak jatuh. Dengan suara keras Maru berteriak, "Pendeta! Pendeta! Bendera biara mau jatuh!"
Semua pendeta keluar. Mereka melihat ke tiang bendera. Bendera tidak jatuh, hanya bergerak-gerak akibat ditiup angin kencang. Para Pendeta marah kepada Maru. Mereka menganggap Maru keterlaluan karena mempermainkan pendeta. Maka Maru dikurung di belakang biara.
Paman Deng Ba melihat si sombong Maru dipenjara. Ia lalu memberikan kuda milik Maru kepada tetangganya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar