Setelah berjalan lama sekali, sampailah ia di tengah-tengah hutan lebat. Karena merasa lelah, duduklah ia di atas sebuah batu besar yang ada di tepi jalan. Dibukanya beka dan mulailah ia makan. Tiba-tiba ia mendengar suara lirih. Ia mengamati tempat sekitarnya. Dilihatnya ada seorang yang sangat kecil dengan kulit merah dan rambut berwarna merah keluar dari sela-sela tanaman. Orang itu hanya sebesar jari tangan manusia biasa. Ketika sampai di dekat si Sulung, ia berkata, "Kasihanilah kami, anakku! Berilah aku sedikit nasi dan sepotong tempe. Aku belum makan sejak tiga hari yang lalu."
"Pergi! Bekalku hanya sedikit, tidak cukup dimakan berdua," bentak si Sulung sambil mengayunkan tongkatnya.
Mendengar jawaban itu, pergilah si Kecil berkulit merah ke dalam hutan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah makan, Salam meneruskan perjalanannya lagi. Ia telah berjalan jauh untuk mencari rezeki. Kemudian ia kembali ke rumah ayahnya lagi.
Karena si Sulung telah kembali, giliran Badu, minta izin.
"Sekarang giliranku menjelajahi dunia untuk melihat apakah aku bisa membawa rezeki untuk semuanya," katanya.
Disiapkannya bekal dan berangkatlah ia untuk mencari rezeki. Ketika sampai di hutan lebat tempat kakaknya berhenti, ia juga merasa capek. Ia duduk di atas batu yang sama, membuka bekalnya dan mulai makan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki kecil berambut dan berkulit merah. Besarnya tidak lebih dari ibu jari tangan.
"Kasihanilah saya, anakku. Berilah saya sedikit nasi, saya belum makan sejak tiga hari yang lalu," pinta orang itu.
Badu melanjutkan makannya tanpa menjawab pertanyaan si Kecil. Ketika selesai makan, dilemparkannya remah-remah nasi yang tercecer di tasnya kepada si Kecil. Setelah menelan remah-remah nasi itu, si Kecil menasihati Badu agar ia meneruskan perjalanannya ke tengah hutan. Di sana ia akan menemukan keberuntungannya di sebuah tambang.
Badu meneruskan petualangannya untuk mencari tambang itu. Ketika berhasil menemukannya, ia sangat kecewa, katanya "Ah, cuma tambang tua yang telah ditinggalkan orang karena tidak ada hasilnya lagi. Aku cuma buang-buang waktu saja," katanya ketus.
Badu mengikuti jalan itu teeus sampai akhirnya ia kembali ke rumah ayahnya. Keadaannya masih sama miskinnya ketika ia berangkat.
Sementara itu, Sabar, si bungsu pun telah tumbuh dewasa. Ketika kakaknya pulang, Sabar minta izin kepada ayahnya, "Ayah, sekarang saya akan pergi untuk mencoba mencari keberuntungan seperti kedua kakakku," katanya.
Ia menyiapkan bekal seperti kakak-kakaknya dan pergi juga menuju ke tempat kedua kakaknya pernah singgah. Ketika dilihatnya sebuah batu besar di tepi jalan, duduklah ia dan mulai makan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya. Ia melihat sekelilingnya dan dilihatnya orang kecil seperti yang pernah dilihat oleh kedua kakaknya. Si Kecil yang cuma sebesar ibu jari berkata, "Anakku, berilah aku sesuap nasi. Sudah tiga hari aku tidak makan," katanya.
Tanpa ragu-ragu, diberikannya separuh bekalnya kepada orang kecil itu sambil berkata, "Makanlah, Kek, dan kalau masih kurang, ambil saja lagi," kata Sabar. Segera si Kecil mendekati Sabar dan berkata, "Aku hanya ingin membuktikan apakah kamu berbaik hati. Kamu telah meyakinkan aku dengan mau memberikan bekalmu sampai butir nasi terakhir. Sekarang aku akan membantumu menemukan apa yang kau cari, tetapi kamu harus melakukan apa yang aku katakan," kata si Kecil.
Kemudian ia menasihati Sabar agar ia masuk ke hutan yang lebih lebat. Di tengah-tengah hutan itu ia akan menemukan sebuah tambang. Sabar mematuhi nasihat itu. Ketika sampai di tambang, si Kecil berkulit merah telah menunggunya.
Di atas bangunan tua ada gandar dan ember untuk mencapai tambang. Si Kecil yang besarnya hanya seibu jari, menyuruh Sabar memasuki ember yang tergantung di atas gandar. Ia sendiri memegang ujungnya. Sabar diturunkannya, makin lama makin dalam. Ketika sampai di dasar sumur, ia turun dari embernya. Sabar benar benar takjub melihat tempat yang begitu indah.
Ketika ia melihat sekelilingnya, tampaklah si Kecil berklit merah yang membawa pedang dan perisai. "Sekarang kamu harus membebaskan seorang putri yang dipenjara oleh raksasa di Istana Emas. Ia adalah putri yang sangat cantik dan ia akan memberimu kebahagiaan."
Si Kecil berkulit merah memberi segulung benang emas kepada Sabar. Tiba-tiba gulungan itu terjatuh sendiri ke tanah dan menggelinding. Ternyata benag itu berguna sebagai penunjuk jalan. Sabar mengikutinya. Tiba-tiba tampaklah di kejauhan sebuah istana emas yang berkilau-kilauan seperti sinar matahari. Benang emas itu terus menggelinding, makin lama makin bertambah cepat sehingga menabrak pintu istana dengan kerasnya.
Raksasa marah mendengar suara keras itu dan ia keluar istana untuk melihat apa yang terjadi. Begitu kelihatan, Sabar langsung menyerang dengan pedangnya. Mereka bertempur lama sekali, tetapi untunglah akhirnya Sabar yang menang.
Sabar terus masuk ke dalam istana dan menemukan seorang gadis yang cantik sekali. Begitu memandang, keduanya saling jatuh cinta. Sabar menggandengnya ke depan si Kecil. Si Kecil mengawinkan mereka dan memberi mereka emas sebanyak yang dapat mereka bawa. Setelah itu Sabar dan istrinya dibantu si Kecil menaiki tambang. Mereka berpisah dan kemudian si Kecil menghilang seperti ditelan tanah. Sabar kembali bersama istrinya ke rumah ayahnya.
Sabar kemudian membangun sebuah rumah yang sangat besar untuk menggantikan rumah ayahnya yang sudah tua. Tetapi kedua saudara Sabar menaruh iri hati atas keberhasilannya. Mereka segera kembali ke tambang tua yang mereka tinggalkan dengan harapan dapat membawa banyak emas.
Keduanya berebut memasuki ember untuk turun ke dalam sumur. Karena berebut, jatuhlah keduanya ke dalam sumur dan tidak pernah kembali.
Segera Sabar menyadari bahwa kedua kakaknya tidak pulang-pulang. Tetapi ketika sampai di sana, sumur tambang itu sudah tertutup. Di situlah kuburan kedua saudaranya yang tamak.
TAMAT
Kemudian ia menasihati Sabar agar ia masuk ke hutan yang lebih lebat. Di tengah-tengah hutan itu ia akan menemukan sebuah tambang. Sabar mematuhi nasihat itu. Ketika sampai di tambang, si Kecil berkulit merah telah menunggunya.
Di atas bangunan tua ada gandar dan ember untuk mencapai tambang. Si Kecil yang besarnya hanya seibu jari, menyuruh Sabar memasuki ember yang tergantung di atas gandar. Ia sendiri memegang ujungnya. Sabar diturunkannya, makin lama makin dalam. Ketika sampai di dasar sumur, ia turun dari embernya. Sabar benar benar takjub melihat tempat yang begitu indah.
Ketika ia melihat sekelilingnya, tampaklah si Kecil berklit merah yang membawa pedang dan perisai. "Sekarang kamu harus membebaskan seorang putri yang dipenjara oleh raksasa di Istana Emas. Ia adalah putri yang sangat cantik dan ia akan memberimu kebahagiaan."
Si Kecil berkulit merah memberi segulung benang emas kepada Sabar. Tiba-tiba gulungan itu terjatuh sendiri ke tanah dan menggelinding. Ternyata benag itu berguna sebagai penunjuk jalan. Sabar mengikutinya. Tiba-tiba tampaklah di kejauhan sebuah istana emas yang berkilau-kilauan seperti sinar matahari. Benang emas itu terus menggelinding, makin lama makin bertambah cepat sehingga menabrak pintu istana dengan kerasnya.
Raksasa marah mendengar suara keras itu dan ia keluar istana untuk melihat apa yang terjadi. Begitu kelihatan, Sabar langsung menyerang dengan pedangnya. Mereka bertempur lama sekali, tetapi untunglah akhirnya Sabar yang menang.
Sabar terus masuk ke dalam istana dan menemukan seorang gadis yang cantik sekali. Begitu memandang, keduanya saling jatuh cinta. Sabar menggandengnya ke depan si Kecil. Si Kecil mengawinkan mereka dan memberi mereka emas sebanyak yang dapat mereka bawa. Setelah itu Sabar dan istrinya dibantu si Kecil menaiki tambang. Mereka berpisah dan kemudian si Kecil menghilang seperti ditelan tanah. Sabar kembali bersama istrinya ke rumah ayahnya.
Sabar kemudian membangun sebuah rumah yang sangat besar untuk menggantikan rumah ayahnya yang sudah tua. Tetapi kedua saudara Sabar menaruh iri hati atas keberhasilannya. Mereka segera kembali ke tambang tua yang mereka tinggalkan dengan harapan dapat membawa banyak emas.
Keduanya berebut memasuki ember untuk turun ke dalam sumur. Karena berebut, jatuhlah keduanya ke dalam sumur dan tidak pernah kembali.
Segera Sabar menyadari bahwa kedua kakaknya tidak pulang-pulang. Tetapi ketika sampai di sana, sumur tambang itu sudah tertutup. Di situlah kuburan kedua saudaranya yang tamak.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar