Setelah mengganti baju seragamnya, Titi langsung pergi ke bengkel Bapak. Siang itu dia tak ingin ke mana-mana lagi. Tidak ingin bermain-main di rumah Retno. Tidak ingin nonton video di rumah Retno. Tidak ingin meminjam boneka Retno yang bisa menangis dan menyanyi. Tidak! Titi tidak ingin bertemu Retno.
"Kok tumben tidak main ke rumah Retno, Ti?" tanya Bapak sambil menambal ban sepeda langganannya. Titi hanya menggeleng, dan tentu saja Bapak tidak melihatnya karena sibuk menghadapi pekerjaannya.
"Titi? Ditanya kok tidak menjawab?" tanya Bapak lagi. Kali ini Bapak menghentikan kesibukannya dan berbalik memandang Titi.
"Titi capek jalan ke rumah Retno, Pak!"
"Kenapa tidak kau minta Retno yang ganti main ke sini?
Ya, kenapa tidak? Titi tahu, Retno sering bilang ingin sekali bermain ke rumah Titi. Tetapi Titi selalu mengatakan, nanti saja, nanti saja. Sampai tadi, ketika Retno setengah memaksa ingin ikut Titi pulang ke rumah.
"Mau apa sih, main ke rumahku?" tanya Titi agak kesal. Tentu saja Retno kaget melihat sikap Titi.
"Jadi Retno tidak boleh main ke rumah Titi?" tanya Retno hati-hati, khawatir sahabatnya bertambha marah.
Titi tidak menjawab. Dia malah berlari meninggalkan Retno yang terheran-heran. Sebenarnya Titi ingin juga mengajak Retno main ke rumahnya. Tetapi dia bingun. Apa yang bisa dilakukan teman barunya itu di rumahnya? Mainan apa yang akan dipinjamkannya pada Retno? Makanan apa yang bsia disuguhkannya? Paling hanya onde-onde bikinan Ibu yang setiap sore diantar ke warung Bu Amin. Padahal, kue-kue yang sering disuguhkan Retno di rumahnya selalu enak-enak...
"Bertengkar ya, dengan Retno?" tanya Bapak tiba-tiba membuyarkan lamunan Titi.
"Tidak," jawab Titi lirih.
"Lalu kenapa tidak main sama-sama?"
Titi diam saja. Diamatinya Bapak yang sedang mengelemkan selembar karet merah tipis pada ban sepeda yang bocor. Titi tahu Bapak bekerja keras setiap hari. Ibu juga sering memberitahu, uang yang diperoleh Bapak tidak banyak, jadi Bapak belum bisa membelikan mainan. Apalagi membeli mainan yang mahal-mahal seperti punya Retno. Untuk membeli tas sekolah Titi saja uang Bapak harus ditabung dulu. Begitu kata Ibu, dan Titi pun lama kelamaan bisa mengerti. Tetapi apakah Retno masih mau berteman denganku, bila tahu aku tak punya mainan apa-apa?
"Kamu tidak pinjam besi sembrani lagi?" tanya Bapak ketika melihat Titi termenung saja. Titi tersentak mendengar pertanyaan itu. Ya, kini dia ingat, sebenarnya dia juga punya mainan, besi sembrani kepunyaan Bapak. Besi itu sering dipinjamkan Bapak kepada Titi dan adiknya, Wowok. Bentuknya seperti hurufg U. Karena besi itu bisa menarik benda-benda dari logam, Bapak sering menggunakannya untuk mencari paku-paku kecil yang mungkin jatuh di bengkel. Mbak Tri, adik bungsu Bapak yang tinggal di rumah Titi, menyebutnya besi magnet. Mungkinkah Retno menyukai besi sembrani ini?
Dengan enggan Titi mengambil besi sembrani dari kotak perkakas Bapak. Dibawanya besi itu ke depan bengkel lalu ditimbunnya dengan pasir. Ketika besi sembrani diangkatnya, di sekujur besi itu menempel pasir-pasir hitam. Kata Bapak namanya pasir besi. Titi melepaskan pasir besi yang menempel itu, kemudian mengumpulkannya di atas secarik kertas bekas. Lalu digerak-gerakkannya besi sembrani di bawah kertas. Pasir-pasir hitam pun ikut bergerak-gerak seperti bisa jalan sendiri.
Sejak pertama kali diajari Bapak, Titi langsung menyukai permainan pasir berjalan itu. Kadang Titi juga merasa geli, karena pasir besi yang hitam dan tegak berjalan-jalan itu mengingatkannya pada rambut Wowok yang kaku. Tetapi siang itu Titi kurang bersemangat memainkan besi sembraninya. Dia hanya menggerakkan besi itu perlahan-lahan. Pasir besi pun bergerak lamban, seolah sedih melihat kemurungan Titi.
"Retno itu kaya ya, Pak?" tanya Titi tiba-tiba, sambil meletakkan besi sembraninya begitu saja.
Bapak menghentikan pekerjaannya. Bapak tahu Titi sedang murung, sebab biasanya Titi senang sekali bermain besi sembrani. Lama Bapak terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Titi. Lalu tiba-tiba saja Bapak tersenyum dan balik bertanya, "Menurut Titi, kaya itu apa?"
"Retno punya mainan banyak, makanannya enak-enak. Retno juga punya video. Kalau main di rumah Retno, Titi bisa main apa saja, banyak sekali. Tetapi kalau Retno yang main ke sini..." Titi ragu-ragu untuk meneruskan kata-katanya.
"Retno juga bisa main apa saja yang disukainya," sahut Bapak seolah meneruskan kalimat Titi yang tak selesai. Titi memandang Bapak dengan wajah yang keheranan.
"Main apa saja, Pak?" tanyanya.
"Titi bisa meminjamkan besi sembrani itu pada Retno. Apa dia pernah melihat pasir berjalan di atas kertas?"
Titi menggeleng, "Belum..."
"Nah, ajak dia main ke sini. Nanti Titi tunjukkan bagaimana cara memainkannya."
Ya, besi sembrani itu bisa ditunjukkannya pada Retno. Apa lagi yang lain?
"Retno juga belum tahu cara menambal ban sepeda, kan?" tanya Bapak lagi, seolah mengerti apa yang dipikirkan Titi. "Kalau Retno ke sini, Bapak akan tunjukkan bagaimana caranya menambal ban. Kamu juga bisa mengajaknya melihat Ibu membuat onde-onde. Atau kau ajak dia ke warung Bu Amin, mengantar onde-onde Ibu bersama Mbak Tri. Pasti dia senang..."
Ah, betulkah Retno mau? Betulkah ia akan senang?
"Titi tidak percaya pada Bapak?" tanya Bapak sambil mengusap-usap kepala putri sulungnya itu. Titi tersenyum malu sambil berkata lirih, "Tadi Retno ingin main ke sini..."
"Lalu Titi melarangnya? Wah, Bapak tidak sangka anak Bapak ini pelit sekali..."
"Titi tidak pelit!" protes Titi.
"Lho buktinya? Retno mau main ke sini tidak boleh. Padahal kalau Titi main ke rumahnya selalu dipinjami mainan, disuguhi kue, ya kan?"
"Titi...," kata Bapak sambil berjongkok di depan Titi. "Kaya dan miskin itu sama saja di hadapan Tuhan. Titi mengerti?"
Titi diam saja. Dia memang tidak mengerti benar apa yang baru saja dikatakan Bapak. Tetapi kini dia tahu betul apa yang diinginkannya.
"Titi akan menjemput Retno, Pak," katanya sambil berlari keluar bengkel.
Rumah Retno di ujung jalan besar sana, tetapi entah kenapa, kali ini Titi merasa rumah kawannya itu dekat sekali. Begitu gembiranya Titi, hingga tak melihat Bapak yang melihatnya sambil menghela napas panjang. Tak dilihatnya Bapak kembali bekerja, kali ini lebih keras lagi. Mungkin Bapak ingin segera mendapat banyak uang, hingga bisa membelikan mainan untuk Titi.
TAMAT
"Retno itu kaya ya, Pak?" tanya Titi tiba-tiba, sambil meletakkan besi sembraninya begitu saja.
Bapak menghentikan pekerjaannya. Bapak tahu Titi sedang murung, sebab biasanya Titi senang sekali bermain besi sembrani. Lama Bapak terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Titi. Lalu tiba-tiba saja Bapak tersenyum dan balik bertanya, "Menurut Titi, kaya itu apa?"
"Retno punya mainan banyak, makanannya enak-enak. Retno juga punya video. Kalau main di rumah Retno, Titi bisa main apa saja, banyak sekali. Tetapi kalau Retno yang main ke sini..." Titi ragu-ragu untuk meneruskan kata-katanya.
"Retno juga bisa main apa saja yang disukainya," sahut Bapak seolah meneruskan kalimat Titi yang tak selesai. Titi memandang Bapak dengan wajah yang keheranan.
"Main apa saja, Pak?" tanyanya.
"Titi bisa meminjamkan besi sembrani itu pada Retno. Apa dia pernah melihat pasir berjalan di atas kertas?"
Titi menggeleng, "Belum..."
"Nah, ajak dia main ke sini. Nanti Titi tunjukkan bagaimana cara memainkannya."
Ya, besi sembrani itu bisa ditunjukkannya pada Retno. Apa lagi yang lain?
"Retno juga belum tahu cara menambal ban sepeda, kan?" tanya Bapak lagi, seolah mengerti apa yang dipikirkan Titi. "Kalau Retno ke sini, Bapak akan tunjukkan bagaimana caranya menambal ban. Kamu juga bisa mengajaknya melihat Ibu membuat onde-onde. Atau kau ajak dia ke warung Bu Amin, mengantar onde-onde Ibu bersama Mbak Tri. Pasti dia senang..."
Ah, betulkah Retno mau? Betulkah ia akan senang?
"Titi tidak percaya pada Bapak?" tanya Bapak sambil mengusap-usap kepala putri sulungnya itu. Titi tersenyum malu sambil berkata lirih, "Tadi Retno ingin main ke sini..."
"Lalu Titi melarangnya? Wah, Bapak tidak sangka anak Bapak ini pelit sekali..."
"Titi tidak pelit!" protes Titi.
"Lho buktinya? Retno mau main ke sini tidak boleh. Padahal kalau Titi main ke rumahnya selalu dipinjami mainan, disuguhi kue, ya kan?"
"Titi...," kata Bapak sambil berjongkok di depan Titi. "Kaya dan miskin itu sama saja di hadapan Tuhan. Titi mengerti?"
Titi diam saja. Dia memang tidak mengerti benar apa yang baru saja dikatakan Bapak. Tetapi kini dia tahu betul apa yang diinginkannya.
"Titi akan menjemput Retno, Pak," katanya sambil berlari keluar bengkel.
Rumah Retno di ujung jalan besar sana, tetapi entah kenapa, kali ini Titi merasa rumah kawannya itu dekat sekali. Begitu gembiranya Titi, hingga tak melihat Bapak yang melihatnya sambil menghela napas panjang. Tak dilihatnya Bapak kembali bekerja, kali ini lebih keras lagi. Mungkin Bapak ingin segera mendapat banyak uang, hingga bisa membelikan mainan untuk Titi.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar